Rumah tangga bagaikan sebuah kapal yang berlayar di tengah lautan, dimana kita tidak pernah tahu kapan datangnya badai, hujan, bahkan angin ribut. Artinya, banyak hal yang perlu dipersiapkan agar tujuan kita bisa tercapai dengan selamat.
Hanya saja terkadang ada sisi-sisi internal yang tidak bisa kita antisipasi sebelumnya. Sehingga keutuhan kapal itu sendiri akan mengalami banyak masalah, misalnya ada yang bocor di sini, mungkin di sana yang di anjungan kurang kuat pagarnya… Sehingga sisi-sisi internal itu perlu diperhatikan, termasuk didalamnya adalah menjaga dan memperbaiki aib pasangan. Karena sesungguhnya luar biasa, manusia itu mempunyai berbagai karakter yang berbeda-beda, budaya kebiasaan dan latar belakang keluarga yang berbeda, dan disatukan dalam satu ikatan pernikahan. Sehingga bagian dari sebuah kewajaran jika kemudian muncul riak maupun gelombang. Tetapi kadang kita lupa bahwa ada control emotion yang harus diperbaiki.
Misalnya ada kebiasaan-kebiasaan pasangan yang tidak kita sepakati (baca: sukai), atau mungkin bukan semata-mata kebiasan tapi bahkan akhlak pasangan kita, dimana pasangan mempunyai bagian akhlak buruk yang kita tahunya setelah menikah. Sehingga kita merasa kecewa, kok dulu sewaktu masa ta’aruf tidak bercerita, kenapa???
Sehingga pada akhirnya dibutuhkan kebijakan. Misalnya seorang suami, memandang isterinya dengan tatapan bijak, jika suatu saat melihat ternyata harapannya tidak sesuai dengan keinginannya (Isteriku atau Suamiku tidak sesuai dengan harapanku: red). Sebagaimana sabda Rasulullah SAW “sebaik-baik kalian adalah yang paling baik akhlaknya terhadap isterinya”.
Ada beberapa Tipologi manusia menyikapi hal tersebut, diantaranya:
1. Ada yg mengeluh kesana kemari, bercerita kesana sini.
2. Menuntut pada perantaranya (mak comblangnya). Kok kamu bisa sich jodohin aku sama dia, kamu tahu nggak dia tuh punya kebiasaan bla…bla…
3. Bahkan ada yang banyak mengambil jalan pintas, dengan cara bercerai
4. Ada juga yang mencoba bertahan, tapi seperti hidup dalam sekam yang dibakar, rasanya panas ketika berada di rumah.
5. Atau menutup-nutupi, seolah-olah tidak ada permasalahan. Padahal di alam bawah sadarnya dia tidak merasa nyaman atau tidak puas sehingga suatu saat bisa jadi meledak.
Kemudian bagaimana seharusnya?
Sesungguhnya kebijakan itu datang dari Rasulullah SAW. Bagaimana Rasulullah menuntun kita ketika akan menikah, bagaimana Rasulullah memberikan statement bagaimana kita seharusnya berumah tangga. Misalnya ada hak-hak dan kewajiban isteri, hak-hak dan kewajiban suami. Dan hal tersebut sangat rinci dan detail dalam Syari’at Islam.
Sehingga pertama, aib ataupun cacat pasangan sesungguhnya adalah bagian dari peluang amal bagi kita jika kita mampu memperbaikinya. Karena sebenarnya da’i yang paling efektif adalah da’i dalam Rumah Tangga, bagaimana seorang suami mendakwahi isterinya, ataupun sebaliknya isteri melihat ada cacat pada suaminya, misal suami tidak rutin shalat lima waktu, sesungguhnya itu merupakan peluang untuk berbuat kebajikan bagi isteri supaya itu menjadi baik. Sehingga dengan demikian isteri/suami diberi Allah peluang pahala yg luar biasa.
Hanya saja kadang-kadang kita tidak melihat jauh kesana, sehingga lebih memilih bercerai. Padahal itu bukan jalan yang terbaik, karena sesungguhnya orang lain tidak bisa memberikan pahala untuk kita, sebagaimana Allah memberikan peluang pahala seperti itu. Kita tarik itu sebagai bagian pahala untuk kita. Ketika kita bisa menjadi jalan untuk pasangan kita mendapat hidayah, Subhanallah pahalanya sepenuh lembah.
Suami isteri itu… ibaratnya kalau sedang berjalan, “ayo kita jalan bersama”, kalau ada satu yang jatuh ke jurang yang satu berkorban untuk menunda sesaat perjalanannya, “Ayo kutarik engkau pelan-pelan…. kita naik”, bukannya dengan “syukurin!! Mumpung engkau masuk jurang, saya bisa lari menuju ke surga”. Tentunya tidak demikian.
Kedua, manajemen keluh mengeluh juga harus hati-hati, jangan sampai ke setiap orang kita mengeluh, bahkan kepada orang tua. Padahal sesungguhnya hakikat dari masalah pasangan kita adalah aurat. Karena suami isteri itu ibarat cermin, sehingga jika isteri bermasalah, tengoklah barangkali suaminya lebih bermasalah daripada isterinya. Kalau pepatah arab bijak mengatakan “Seandainya ada seseorang datang kepadamu menceritakan aib orang lain, menceritakan kesedihan dirinya terhadap pasangannya dan dia menangis di depanmu dan mencucurkan air mata, tahan! Bisa jadi pihak yang dikeluhkan itu cucuran air matanya lebih deras karena luar biasa penderitaan yang dialami”. Jadi adillah! Kalau kita menuntut kesempurnaan pada pasangan kita, sesungguhnya sadarilah, kita juga bukan sosok yang sempurna. Sehingga kelapangdadaan kita menerima kekurangan pasangan kita sesungguhnya merupakan illat yang luar biasa besar untuk kita berbuat lebih baik lagi.
Disini akan diceritakan beberapa kasus Rumah Tangga yang berkaitan dengan Tema : Menjaga dan Memperbaiki Aib Pasangan. Semoga ada Ibrah yang kita dapatkan.
Kasus 1:
“Kadang-kadang sebelum menikah, kita melihat sosok calon suami kita sangat luar biasa, akan tetapi setelah menikah, sifat dan karakternya sangat jelas, baik itu berkaitan dengan akhlaq ataupun ibadah kepada Allah. Nah ada seorang akhwat yang setelah menikah, suaminya kok sering menunda-nunda Sholat, dan banyak hal-hal lain yang terjadi. Bagaimana seorang isteri seharusnya menyikapi hal tersebut?”
Narasumber :
Rumah itu memang sesungguhnya tempat kita beristirahat, artinya tempat dimana kita bebas melepas aurat, melepas topeng, melepas karakter di luar yang biasanya di luar orang inginnya tampak berwibawa, disegani, atau dihormati, dan sesungguhnya itu adalah sa’atan, sa’atan, sa’atan (sesaat sesaat sesaat). Ada masa-masa dimana orang itu butuh untuk Refreshing, dia butuh untuk berbagi hati, dia butuh untuk manja, butuh kekanak-kanakan, dsb. Sehingga di rumah dia lepaskan semua atribut tadi yang dia sudah pakai di luar.
Makanya dalam Al-Quran disebutkan yang namanya suami isteri itu “Hunna libasullakum wa antum libasulahunna………” artinya “kamu itu pakaian buat mereka, dan mereka juga pakaian buat kamu”. Sehingga ketika kita melihat aib, katakanlah Sholatnya atau akhlaknya atau yang lain-lainnya. Kemudian apa yang perlu kita lakukan?? yang dilakukan adalah dengan melakukan perbaikan dengan diri kita sendiri artinya dia adalah bagian diri kita, dan kita juga bagian dari diri kita, kita memperbaiki diri dia ibarat kita memperbaiki diri kita.
Karena kalau tidak dilakukan, kemudian dari pernikahan itu keluar anak-anak. Dan anak-anak melihat aib bapaknya, melihat aib ibunya. Kalau tidak ada saling perbaikan maka aib itu akan menjadi turunannya dia (aib turunan). Dan tentunya kita tidak menginginkan itu.
Kasus 2 :
“Suami saya suka sekali sms-an dengan perempuan, kata-katanya mesra sehingga akhirnya saya ketahui. Setelah saya tanyakan pada suami, beliau mengatakan bahwa mereka sering ketemu, hingga akhirnya suami mengatakan suatu saat akan menikahi perempuan tersebut. Saya takut suami terlalu banyak akan melakukan dosa, ketika saya ingatkan dia beliau sering marah-marah, dan hal itu berlangsung sampai saat ini. Apa yang harus saya lakukan?”
Narasumber :
Selain mengingatkan, ada tidak sih akar permasalahan di keluarga sehingga suami bisa melakukan seperti itu. Jauh lebih penting yang pertama harus dilakukan adalah muhasabah diri. Apa sih yang kurang dalam rumah ini sehingga dia butuh dari luar. Ibarat orang kenyang perutnya, mestinya dia tidak melirik-lirik lagi, tidak kesana kemari.
Hal ini bukan dalam rangka menyalahkan, tapi mencoba untuk muhasabah terlebih dahulu. Apa sih yang dia tidak suka dari saya?, apa sih yang dia temukan dari saya sehingga membuat ketidaknyamanan bagi suami?, atau barangkali ketika suami pulang kerja melihat saya masih semrawut, ohh mungkin itu yang saya temukan kesalahan itu dari saya. Atau pada saat suami jenuh, saya menambahi kejenuhannya. Ketika dia marah, saya juga ikut-ikutan marah. Ketika dia diam, saya juga ikut-ikutan diam. Ketika dia membentak, saya balas membentak, dsb.
Jika point-point itu telah ditemukan, mari kita coba membuat sebuah planning waktu, misalnya sebulan ini saya akan memperbaiki diri saya. Syukur dalam kondisi santai, misalnya pada saat kondisi suami tidak marah-marah ibu tidak harus ingatkan dia tentang sms mesra itu. Tapi bincangkanlah misalnya, apa ya mas yang kurang dari saya?, apa ya yang waktu sebelum nikah yang mas harapkan dari saya, itu belum mas dapatkan sampai saat ini?. Jika sudah, coba dievaluasi. Atau ada masa-masa dimana dia tidak mendapatkan sms-sms mesra dari ibu. Mungkin dia lebih membutuhkan kata-kata dari pada sekedar tindakan.
Kalau itu sudah bisa dilakukan, dan sudah bisa ambil alih, sebetulnya dia tidak butuh sms2 mesra dari sahabatnya itu, karena sesungguhnya saya lah yang paling berhak, sayalah yang paling bernilai di mata Allah.
Sehingga ketika perbaikian-perbaikan itu telah ibu lakukan, coba lihat reaksinya, apa dia gembira dengan sikap-sikap ibu, atau dia tetap saja bermasalah dengan sms mesra itu, atau barangkali dia tidak hanya bersms mesra dengan satu wanita itu tapi juga dengan beberapa perempuan. Dan hal-hal tersebut adalah masalah-masalah psikis yang kita juga harus ketahui.
Dan misalnya jika semua itu telah ibu lakukan, ibu timbang-timbang perlu tidak saya bicara dengan perempuannya, barangkali perempuan itu ketika bertemu dengan saya dia bisa lebih jujur, atau barangkali perempuan justru tidak tahu kalau sesungguhnya suami saya sudah beristeri atau barangkali ibu bisa lebih belajar dari kelebihan dia sehingga dia menarik di mata suami ibu.
Hal ini memang sepertinya kok seperti perempuan lagi yang kalah, bukannya yang salah sesungguhnya adalah suami, tapi kok jadi kita yang seakan-akan bersalah , tapi kok kita yang harus berkorban untuk dia.
Sebenarnya ini bukan sedang berbicara kalah atau menang, tapi sesungguhnya kita sedang berbicara siapa yang ingin mendapatkan Ridlo Allah, siapa yang ingin naik derajat di Mata Allah. Mungkin di mata suami ah ga segitu2 amat, tapi di mata Allah kita luar biasa, karena kita berkorban untuk Rumah Tangga kita. Kita menunjukkan kesetiaan kita pada Rumah Tangga kita, kita menunjukkan kelapangdadaan kita, kita menerima bahwa ada masalah disini dan kita ingin memperbaiki. Mengalah untuk kemenangan berikutnya. Karena sesunguhnya itu adalah peluang pahala yang sangat besar ketika kita bisa memperbaikinya. -Mengalah untuk meraih kemuliaan di sisi Allah.
Kasus 3:
Bagaimana supaya kita ketika melihat aib pasangan benar2 melihat sebagai ladang amal, dan tidak mudah mengatakan kata2 bercerai?
Narasumber:
Yang pertama tentunya adalah melakukan muhasabah, kenapa aib itu bisa muncul di rumah tangga kita?
Karena pada kenyataannya seringkali ketika kita bertemu dengan pasangan kita, itu bukan kebaikan yang menulari kebaikan, tapi justru keburukan yang menulari keburukan. Misalnya, sewaktu sebelum menikah kita mempunyai kebajikan yang luar biasa baik, kemuadian ketemulah sama suami dan menikah dan ternyata kita menemui seabreg kekurangan “kok dia begitu ya, kok Sholatnya ga rajin-rajian amat ke masjid”, nahh kita malah coba mengikuti, “kok dia tilawahnya biasa aja”, kita ngikuuut. Kok dia sama orang tuanya ngga hormat2 banget, kita jadi ikut2an ga hormat. Nah ini kan seharusnya bukan beghitu. Tapi jauh lebih penting bagaimana agar kebaikan itu saling menular.
Karena tidak mungkin orang itu lepas dari masalah, tidak mungkin orang itu nggak ada cacatnya. Karena yang namanya manusia itu tidak ada yang maksum, tidak ada yang lepas dari dosa. Tinggal kita bagaimana memanaje dosa itu supaya tidak mendominasi kita. Sehingga kalau ada dosa, istighfar, tobat, selesai. Bukan diulang lagi, diulang lagi, diulang lagi.
Karena biasanya masing-masing orang mempunyai alibi terhadap cacat yang dia punya. Misalnya si Bapak bilang “kok waktu ibu lebih dominan di depan televisi, dari pada melakukan amal kebajikan yang lain?” Alibi ibunya “abisnya bapak nggak pernah pulang, ibu kesepian ya udah jadi ya temen ibu ya televisi”. Ini kan sebenarnya alibi, dan sesungguhnya kan bukan begitu. Peluang yang lain kan banyak, dengan menyantuni tetangga, silaturahim misalnya walaupun suami kerjanya jauh, tidak pulang-pulang.
Nah, setelah kita melihat itu sebuah bagian dari kewajaraan atau keniscayaan bahwa seseorang itu pasti punya aib, kemudian yang kedua yang kita lakukan adalah Membuat program untuk memperbaiki aib pasangan tadi, menjadikan itu sebagai peluang pahala.
Apa program yang kulakukan untuk aib yang “ini”. Misalnya ternyata suami mempunyai tabi’at mudah marah, kalau udah marah itu dah meledak, meledak aja mungkin kita bisa tahan hati, tapi ini misalnya sampai membantingi barang. Apa yang kira2 yang bisa kulakukan untuk dia, padahal kalau sedang tidak marah, dia itu baaiiik banget orangnya. Cari akal kreatif kita untuk meredam kemarahannya, mungkin kita bisa merekamnnya ketika dia sedang marah tanpa sepengatahuan dia, atau kita potret atau pake video ketika dia marah tanpa sepengathuan dia tentunya. Nah nanti setelah suasananya enak, santai, enak diajak ngomong, kita katakan “mau tau ngga kalau kamu lagi marah menakutkannya seperti apa, coba deh dengerin”? Karena yang namanya orang marah, pada saat itu sedang dikuasai syaitan.
Sehingga sebelum berfikir untuk bercerai, mari kita buat program terlebih dulu, dan maksimal. Artinya jangan program-programan, kalau kita lagi mau ya kita konsisten jalanin, tapi pas lagi tidak, kita sendiri yang tidak konsisten, itu kan tidak baik juga.
Sehingga jika kebaikan sudah menular, dan program sudah kita upayakan lebih baik, InsyaAllah semoga Allah memberkahi amal usaha kita. Urusan hasil terserah nanti, karena itu urusan Allah, yang paling penting adalah kita maksimal terlebih dulu dalam berusaha. Jadi jangan sedikit sedikit cerai, belum tentu cerai itu akan lebih baik. Belum tentu pasangan yang kita temui nantinya jauh lebih baik. Atau bahkan belum tentu kita mudah mendapatkan pasangan. Bahkan status yang sudah bercerai di mata masyarakat masih ada stigma negative meskipun itu tidak semua, dan bersifat kasuistik. Jadi jangan sekali-kali berfikir untuk cerai, karena Allah bisa memudahkan fikiran kita. Sehingga ketika itu muncul, segera beristighfar. Astaghfirloh aku tidak boleh berfikir seperti ini, Astaghfirullah aku masih bisa berbuat lebih banyak lagi tanpa aku harus mengeluarkan kata2 itu, karena mungkin 5 tahun, 7 tahun, 10 tahun, atau mungkin barangkali 15 tahun kita baru mendapatkan bahagianya setelah itu. Karena Takdir itu rahasia Allah, jadi cobalah diusahakan semaksimal mungkin. Cerai itu darurat, hukumnya boleh tapi itu dibenci Allah.
Kasus 4 :
Wanita itu identik dengan curhat, inginnya bercerita, berbagi untuk mengurangi bebannya baik itu ke sahabat sendiri, atau bahkan orang tua. Dan jika berkaitan dengan aib kelaurga, apakah secara syari’at membolehkannya ketika kita ingin berbagi beban?
Narasumber:
Jadi memang ada beberapa hal, yang itu dibolehkan. Rasullah SAW sendiri pernah ada suatu saat ada salah satu sahabiah beliau yang namanya Hindun (salah seorang yang terakhir2 masuk Islam) isteri dari Abu Sofyan. Ketika Rosullah sedang ada Majelis, hindun tutupi wajahnya dan bertanya kepada Rosullah “Suamiku pelit, boleh tidak aku merogoh uang dari sakunya tanpa sepengetahuan dari dia”. [ibaratnya jika tidak diminta, dia nggak ngasih] “sehingga aku tau kalau di saku dia ada uang, boleh tidak aku ambil Ya Rasulullah?” begitulah kira-kira.
Jika kita melihat hadist di atas, ini kan yang pertama beliau menceritakan aib suami, tapi ia bercerita pada siapa, pada Rasulullah, orang yang bisa memberikan solusi bagaimana Solusi Syari’atnya, orang yang sebagai rujukannya. Sehingga Rasulullah menjawab “ambil sesuai keperluanmu”.
Jadi sesungguhnya boleh dengan syarat:
1. Kita yakin bahwa orang yang dicurhati amanah
2. Kita yakin bahwa orang yang dicurhati mampu memberi jawaban atas masalah kita, jadi jangan setiap orang kita curhati.
3. Ketika curhat tidak menjadi fitnah. Ini curhatnya ibu-ibu pada bapak-bapak, nah ini bisa jadi bukannya mencari penyelesaian masalah tapi justru akan menjadi fitnah.
4. Yakin betul bahwa masalah itu tidak akan melebar kemana2. Jadi sebetulnya masalah itu kita selesaikan sendiri terlebih dulu jika kita mampu.
Sumber :
1. Radio MQ 92,3 FM Jogja, Yogyakarta
2. Narasumber : Ibu Asri Widiati
3. Penyiar : Eva Nurisa
4.Edited By Nisa Muthmainnah [http://lin-muthmainnah.blogspot.com/]
“kita bukan mencintai orang yang sempurna, tapi bagaimana mencintai seseorang dengan cara yang sempurna…”
“semoga kita semua menjadi keluarga yang selalu diberkahi Allah”…
Share